Cita-citaku mati…
Menjelang
maghrib aku terdampar
di pinggir sebuah ruko
saat pulang kerja karena hujan. Turunnya hujan disaat pulang kerja kadang membuat
jengkel juga. Seharusnya sudah ada dirumah, mandi dan istirahat dan
menikmati makan, sekarang malah harus basah
dan berdingin di pinggir jalan. Banyak juga kawan-kawan senasib. Bahkan seorang
anak kecil penjual koran juga ikut berteduh sambil menyembuyikan dagangannya agar tidak basah terkena tetesan
air hujan.
Hampir ½ jam menunggu ternyata membosankan, mana orang-orang yang senasib menunggu sepertinya tidak ada satupun punya niat
ngobrol. Sibuk dengan lamunan dan rokoknya
masing-masing.
Untuk menghilangkan bosan, gak
ada salahnya ngobrol dengan anak kecil (ini egonya org
dewasa). “Boy, (aku biasa panggil anak kecil cowok yang gak kukenal. Lebih
praktis), minta Sr**o”, kataku. “1000 kak”, katanya sambil memberikan koran.
“Masih sekolah, boy”,
tanyaku basa-basi. “Kelas 7 kak. Sekolah sambil jualan koran”, sahutnya. Ya,
iyalah, masak bawa koran jualan martabak, pikirku dalam hati. “Kamu cita-citanya mau jadi apa boy”, pertanyaan klise org
dewasa ke anak2 kan seperti itu. “Cita-cita saya mau mati dalam keadaan
Husnul Khotimah, kak”, jawabnya tegas.
Kaget!!... Kaget!!!... Jujur saya kaget saat itu. Bener-bener gak nyangka bahwa itu akan keluar dari mulut seorang anak kecil dan saya yakin itu adalah jawaban spontan dan tidak dibuat-buat. Anak kecil yang pada usianya kita nilai hanya mempunyai hasrat bermain dan hanya bermain untuk memuaskan dahaga masa kecil. “Kenapa kamu punya cita2 mati, boy. Anak-anak lain kalau ditanya cita-cita pasti ingin jadi Insinyur, Dokter, Kontraktor. Kok kamu cita-citanya malah mau mati Husnul Khotimah”, tanyaku penasaran. “Iya kak. Itu cita-cita saya dan akan tetap cita-cita saya. Kalau saya sudah niat mati Husnul Khotimah, maka nantinya kalau saya jadi Dokter, saya akan jadi dokter yang tulus ngobatin orang, kalau orang tidak mampu bayar saya rela kalau perlu saya belikan obat dan Dokter yang rajin ibadah. Kalau saya jadi Insinyur, maka saya akan jadi Insinyur yang tidak akan lupa shalat 5 waktu dan suka sedekah dan kalau saya jadi pemborong, maka saya mau jadi pemborong jujur, tidak mencuri apalagi korupsi seperti di tv-tv sekarang. Karena setiap kerjaan kalau niatnya Lillahita”ala, Insya Allah akan direstui oleh Tuhan. Itu semua karena saya kalau melanggar peraturan agama pasti berdosa, kak, dan orang yang berdosa pasti masuk neraka. Hidup kan pendek, kak. Jangan sampai hidup di dunia sudah susah, di akhiratpun juga susah”, jawabannya lancar seperti air sungai mengalir.
Tersentak dengan jawaban itu. Hari ini aku diberi nasihat hidup. Ucapan dari mulut anak kecil yang sepertinya keluar dari mulut seorang yang ahli ibadah. Mencerna jawaban anak tadi, bahwa seluruh yang hidup pasti akan mati. Mau jadi apa akhir jalan hidup kita nanti, hanya kita yang tahu jawabannya. Mau pilih surga atau neraka itu adalah keputusan hidup pendek (seperti dikatakan anak kecil itu). Intan yang keluar dari kotoran hewan sekalipun tetaplah intan. Nasihat tidak harus datang dari orang yang lebih tua dari kita, orang yang lebih berkuasa dari kita ataupun orang yang lebih berkecukupan dari kita, juga dari orang yang kita rasa lebih berpengalaman dari kita. Nasihat itu datangnya pun bisa dari anak kecil. Kehidupan ini pun menjadi sebuah nasihat bagi kita.
Kaget!!... Kaget!!!... Jujur saya kaget saat itu. Bener-bener gak nyangka bahwa itu akan keluar dari mulut seorang anak kecil dan saya yakin itu adalah jawaban spontan dan tidak dibuat-buat. Anak kecil yang pada usianya kita nilai hanya mempunyai hasrat bermain dan hanya bermain untuk memuaskan dahaga masa kecil. “Kenapa kamu punya cita2 mati, boy. Anak-anak lain kalau ditanya cita-cita pasti ingin jadi Insinyur, Dokter, Kontraktor. Kok kamu cita-citanya malah mau mati Husnul Khotimah”, tanyaku penasaran. “Iya kak. Itu cita-cita saya dan akan tetap cita-cita saya. Kalau saya sudah niat mati Husnul Khotimah, maka nantinya kalau saya jadi Dokter, saya akan jadi dokter yang tulus ngobatin orang, kalau orang tidak mampu bayar saya rela kalau perlu saya belikan obat dan Dokter yang rajin ibadah. Kalau saya jadi Insinyur, maka saya akan jadi Insinyur yang tidak akan lupa shalat 5 waktu dan suka sedekah dan kalau saya jadi pemborong, maka saya mau jadi pemborong jujur, tidak mencuri apalagi korupsi seperti di tv-tv sekarang. Karena setiap kerjaan kalau niatnya Lillahita”ala, Insya Allah akan direstui oleh Tuhan. Itu semua karena saya kalau melanggar peraturan agama pasti berdosa, kak, dan orang yang berdosa pasti masuk neraka. Hidup kan pendek, kak. Jangan sampai hidup di dunia sudah susah, di akhiratpun juga susah”, jawabannya lancar seperti air sungai mengalir.
Tersentak dengan jawaban itu. Hari ini aku diberi nasihat hidup. Ucapan dari mulut anak kecil yang sepertinya keluar dari mulut seorang yang ahli ibadah. Mencerna jawaban anak tadi, bahwa seluruh yang hidup pasti akan mati. Mau jadi apa akhir jalan hidup kita nanti, hanya kita yang tahu jawabannya. Mau pilih surga atau neraka itu adalah keputusan hidup pendek (seperti dikatakan anak kecil itu). Intan yang keluar dari kotoran hewan sekalipun tetaplah intan. Nasihat tidak harus datang dari orang yang lebih tua dari kita, orang yang lebih berkuasa dari kita ataupun orang yang lebih berkecukupan dari kita, juga dari orang yang kita rasa lebih berpengalaman dari kita. Nasihat itu datangnya pun bisa dari anak kecil. Kehidupan ini pun menjadi sebuah nasihat bagi kita.
“Dik (tidak lagi saya panggil dia boy, karena justru egoku sebagai orang dewasa yang merasa lebih dari seorang anak kecil sudah luntur dan jujur saja saat itu aku sangat hormat padanya, bahkan bisa kukatakan aku merasa malu dengannya), semoga cita-citamu tercapai dan kakak yakin kamu suatu saat pasti akan jadi org besar”. Kukeluarkan 5000 utk bayar koran. “Sisanya kamu ambil aja. Buat jajan”, kataku. “Terima kasih, kak”, jawabnya pendek namun terpancar jelas riang di mukanya.
Hujan belum juga reda, namun rasanya dingin yang melanda saat
itu memberikan suatu suasan sejuk yang sangat mendalam. Rasa bahagia dan haru
bercampur baur saat itu. Terselip juga rasa malu. Malu pada diriku sendiri, bahkan malu kepada Sang
Pencipta. Ternyata selama ini kita sudah terlena dengan duniawi dan mengejar
duniawi seakan tidak akan habis hidup ini. Kita menomorsatukan dunia dan
menganggap bahwa urusan akhirat hanya cukup sebatas tidak meninggalkan shalat
dan berbuat baik kepada orang lain. Ternyata tidak cukup hanya disitu. Sayang
kesempatanku untuk mengisi form yang menanyakan cita-cita sepertinya sudah tidak
ada lagi. Kalau masih ada yg menyodorkan form itu, maka akan kutulis dengan
jelas cita-citaku: Mati dalam keadaan Husnul Khotimah….(awal juni 2012, e-dit)